ini cerpen sebenarnya dulu buat tugas, sekarang mau nge-post aja, gitu. dan ini aufa yang bikin ok? bukan copas dari mana mana. murni ide sendiri.
ini dia :
Selasa siang, seperti biasanya, ada jadwal pelajaran Oalahraga diluar jam
mata pelajaran pagi. Panas. Aku dapat membayangkan bagaimana terik panas
matahari menyengat kulit-kulit mereka yang sedang berlari demi nilai. Lelah,
pasti. Sebentar lagi aku juga akan melakukan hal yang sama, berlari dikejar
waktu demi nilai. Aku menghela nafas.
Kulirik jam yang melekat
di tanganku, 14.30. kulangkahkan kakiku menuju gerombolalan teman-teman
sekelasku. Menyapa mereka membuatku merasa sedikit tenang.
“ udah lama ? “ aku memulai percakapan.
“ nggak juga, sih.., belum ngambil absen lagi, kan ? ambillah
dulu “
“ eeh..., orang baru datang, juga, udah diusir pula .. “ aku berpura-pura memasang tampang
cemberut.
Tidak lama pun kami tertawa bersama-sama. Tetapi
aku belum menemukan teman terdekatku, aku berusaha mencarinya. Siapa tau
ternyata dia juga belum mengambil absen, jadi kami bisa mengambil absen
bersama, dan aku mendapatkannya sedang duduk di atas pentas. Aku melangkahkan
kakiku menuju pentas tersebut. Berusaha menejutkannya.
“
Lala..!!! “ gagal. Dia
sudah menoleh terlebih dahulu.
“
eh, telat, hehehe .. “
dia terkikik.
“
ck, eh, la udah ngambil absen ? “ hampir saja aku lupa tujuanku mencarinya tadi. Tetapi ternyata dia sudah
mengambil absen.
“udah,
aufa?”
“belum
lagi, ni mau ngambil absen, skipping juga udah?”
“udah
juga, pergilah ambil absen dulu”
Aku berjalan menuju guru olahraga dan menyebutkan namaku.
Setelah itu aku mengambil skipping yang kubawa dan perlahan melompat tanpa
diperintah, karena ini merupakan kegiatan yang memang harus dilakukan sebelum
mengambil nilai lari. 1, 2, 3, ... . walau terhenti beberapa kali, akhirnya aku
menyelesaikannya dan menyimpannya lagi. 300 lompatan. Dan akupun berjalan
menuju Lala lagi.
“ Lala,
.. “ aku menyapanya.
“ iya,
kenapa? Udah selesai skipping?.. “
“
udah, ni baru selesai “
jawabku singkat.
“oh...,
fa, la remedi aaahh, disuruh buat kliping.. “ tampak bagiku raut sedih dari mukanya.
“
fa iya juga mungkin la.., “ aku teringat kalau aku juga remedi karena minggu kemarin aku tak bisa
menyelesaikan 4 putaran dalam waktu paling lama 12 menit, sama dengan Lala.
“
ndag, nilainya tu diambil berdasarkan minggu kemaren sama yang sekarang, kalau
sekarang kita gak remedi, berarti belum tentu akan remedi, nanti lari sekali
lagi minggu depannya, kalau gak remedi, berarti tuntas, kalau remedi lagi, baru
remedi buat kliping. Yola udah jelas aja remedi terus.. “ aku terhenyak mendengar kalimat yang
bari saja keluar dar mulutnya.
“
apalah lala ni, sih? Belum tentu juga la remedi lagi, siapa tau nanti kamu gak
reme-... “
“bapak yang
bilang sama la tadi, kata bapak la kan pasti remedi, jadi disuruh bapak aja
buat kliping dari sekarang, minggu depan dikumpul.” rasanya jantungku baru
saja berhenti berdetak mendengar pengakuannya.
Aku melirik dirinya, dia menatap lurus kedepan,
raut wajahnya terlihat lebih sedih dan putus asa. Aku tahu badannya memang
besar untuk seumuran kami, tapi aku sedih sekaligus kecewa mengetahui seorang
guru berkata begitu. Sama saja dengan seorang pemimpin perang menyuruh mundur
pasukannya sebelum pertempuran berlangsung. Aku membayangkan diriku kalu jadi Lala,
mungkin aku sudah menangis mendengar perkataan guru kami itu.
Tik..!
1 tetes airmata mata sebagai wujud rasa sedih dan
kecewa ku menetes. Aku cepat cepat menghapusnya, tak ingin Lala melihatku.
Mencoba mengalihkan pandanganku. Aku mencoba menghentikannya agar tak ada tetes
airmata ke-2 ataupun ke-3 , aku tak mau Lala merasa terkasihani, karena
menurutku dia akan semakin terbebani. Aku menggigit bibir bawahku sekeras
mungkin, hal yang biasa aku lakukan jika gugup atau menangis. Aku tahu Lala
adalah anak yang kuat. Aku harap dia tidak terlalu memikirkan ini.
Aku tersadar dari lamunanku. aku mendengar bapak
menyebut nama siswa satui persatu yang akan ikut lari trip 1, dan namaku
akhirnya disebutkan, juga Lala.
“
yang jelas sekarang, kita berusaha aja dulu!..” aku menunggingkan senyum di bibirku dan
mengangkat kedua tanganku dan mengepalnya. berharap ini dapat manambah
semangatnya.
“fighting!”
aku tersenyum sebisaku. Berharap dia sedikit termotivasi.
Dia membalas senyumanku dengan senyuman getir. Lala,
berjuanglah, aku tau kamu kuat, kamu bisa.
Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya peluit
ditiup. Aku mulai menggerakkan kakiku untuk mulai berlari, dengan kecepatan
yang konstan.
1 putaran. Aku baru saja melalui putaran pertamaku
tanpa berhenti, aku tak mau berhenti dulu, karena jika sudah 1 kali berhenti aku
akan terus berhenti untuk kedua, ketiga dan selanjutnya, ada salah satu senior
yang mengatakan itu padaku.
2 putaran, aku sudah beberapa kali berhenti,
berjalan, dan berlari lagi. Saat aku baru saja memulai putaran ku yang ke
4, sudah ada teman-temanku yang mencapai
garis akhir. Aku iri. Dan benar saja, aku terus saja berhenti beberapa kali
sebelum akhirnya hampir mencapai garis akhir. Aku berhenti lagi, mengedarkan
pandanganku mencari sesosok temanku, Lala.
Yup ! aku mendapatkannya juga berjalan, dia masih
diputaran yang ke 3 sedangkan aku sudah mau mencapai garis akhir. Lala,
berjuanglah !. aku jadi termotivasi untuk berlari lagi hingga ke garis akhir.
“ 11.48 “ , Bapak memencet mencet stopwatchnya. Akhirnya,
aku lega aku tidak remedi kali ini, tidak seperti minggu kemarin, waktuku
12.21, sedikit senyuman tersungging kembali. Aku menghela nafas panjang seakan
beban beratku kali ini sedah selesai dengan baik. Aku kembali teringat dengan Lala,
melihat kembali ke sisi lapangan tadi.
Satu persatu orang demi orang berlalu juga
mencapai garis finish. Pemandangan miris ini tak kuasa menarik kesedihanku
kembali, bahkan haus-pun tak terasa lagi, semuanya hilang. Pandanganku hanya
terpaku pada sesosok dirinya yang terlihat sangat kelelahan. Wajahnya menjelaskan
betapa letihnya ia. Dapat kulihat sesekali ia melirik ke garis finish, melihat
orang yang mulai meninggalkannya berlari sendiri, seperti biasanya. Selalu tertinggal
sendirian. Hanya satu hal yang kuharapkan, aku harap ia akan terus berlari
sebelum peluit sialan itu berbunyi. Namun, tampaknya harapanku tak begitu
sesuai dengan keadaannya. Letih sudah terlampau menderanya. Namun dapat kulihat
ia terus mencoba sekuatnya untuk tetap berlari.
Waktu sudah melewati 12 menit, peluit berbunyi,
bagiku, suara peluit itu terdengar seperti terompet kematian yang menyurutkan
segalanya. Semangatnya. Harapanku. Langkah kakinya melambat, ekspresinya tak
dapat kubaca. Ia menundukkan wajahnya ke bumi, berjalan seakan-akan
terseok-seok. Lala, walaupun kamu masih belum bisa menyelesaikannya tepat waktu,
aku menghargai semangatmu, gumamku dalam hati. Dia menamatkannya di waktu
14.30.
Aku menghampirinya, bertepuk tangan. Aku melihat
mukanya yang sangat memerah. Dengan nafas yang masih tersengal-sengal.
Tersenyum kearahnya. Tetapi aku bahkan tak tahu apakah ‘senyum’ ini dapat
dikatakan sebuah senyuman. Aku duduk disebelahnya.
“
fa, tadi la liaht ada yang curang., “ dia menatap lurus ke depan.
“ siapa
? “ tanyaku selidik. Dia membisikkan sebuah nama di telingaku. Oh, ternyata
dia. Aku seperti sudah biasa, karena dia memang sering bohong atau curang.
“ yang megang
kertas catatan waktunya itu, kerjasama sama dia, tadi pas dia masih putaran
ke-3, trus dibilangnya aja sama bapak udah 4, jadi sebenarnya bapak nyatat
waktu dia putaran ketiga. Sakit hati la jadinya, eh .. “ aku menatapnya,
terlihat tatapannya berubah menjadi tatapan kejengkelan dan tatapan tidak suka.
Aku menahan amarahku. Apa yang bisa kulakukan ?.
melapor ke guru ?, tanpa ada bukti. Lagian
biar sajalah, aku tak mau dibilang kekanak-kanakkan. Aku benci orang yang
seperti itu, orang-orang yang berbuat curang. Sangat ! .
“ biarin aja
lah mereka,, yang namanya CURANG itu, nilainya itu nilai bohongan yang ada. Nilai
abal-abal . lebih berharga kan, Lala sampai ka garis akhir tu jujur, nggak
curang kayak mereka itu .. “ aku berusaha menyemangatinya.
Sebuah senyuman hangat akhirnnya muncul juga. Aku
tahu dia kuat.
“ hmm, makasih..”
dia berusaha bangun, tapi aku melihatnya masih susah untk itu, maka itu aku
menarik telapak tangannya
“ ayo!..
“ aku berjalan megambil tasku, menyandangkannya ke punggungku, begitupun Lala.
Ya Allah !, terimakasih sudah memberiku teman
sebaik dia, terimakasih juga atas pelajaranmu hari ini.
Angin sore yang sejuk menepaku. Aku menghirup
udara yang menyejukkan bagiku. Manggenggam erat tangannya seakan aku akan
kehilangan Lala. Aku berjalan beriringan dengannya. Sejuk, damai.
1 komentar:
How to Play Baccarat | Online Game for Betting - Worrione
When 인카지노 you join the betting community in 바카라 your country, you are playing for fun. Baccarat offers an exciting new way to play 메리트 카지노 baccarat online. Baccarat
Posting Komentar